“Menurut saya waktu itu, pakai narkoba
adalah tindakan paling keren yang pernah saya lakukan seumur hidup”
Langit cerah menyambut kedatangan pesawat
Singapore Airlines di landasan pacu Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Pesawat
jenis boeing 777-300 ER itu baru saja tiba dari Los Angeles, Amerika Serikat.
Seorang pria berperawakan kecil duduk di barisan paling belakang. Di kala
penumpang lain bergegas keluar, sedikit pun ia belum beranjak dari kursi. Sudah
24 tahun menetap di negeri paman sam, seharusnya Howard Kam gembira karena bisa
kembali ke kampung halamannya. Namun lagi-lagi ia memandang ke arah jendela
dengan tatapan sendu. Meski matahari begitu terik, ada awan gelap menyelimuti
hati Howard.
Pria
yang lebih dikenal dengan nama Michael Howard tidak melakukan perjalanan
seorang diri. Ia diapit oleh dua pria bule berperawakan tinggi besar. Mereka
merupakan aparat keamanan dari U.S. Marshals yang ditugaskan untuk memastikan
Howard sampai di Indonesia. Howard bukanlah penumpang biasa. Di balik jaket
kulit hitam yang ia kenakan, kedua tangannya dibelenggu borgol berwarna perak.
Jaket itu sekaligus menutupi tato disekujur lengan Howard. Kedatangannya kali
ini tidak pernah ia rencanakan. Howard diusir dari Amerika Serikat oleh
pengadilan karena tindakan kriminal yang sudah sangat keterlaluan. Penegak
hukum di Amerika enggan mengampuni dosa Howard dan menjatuhkan hukuman
deportasi. Sehingga Howard tidak lagi diizinkan untuk kembali ke negara adidaya
itu.
“Orang
lain ingin banget ke Amerika dan tinggal di sana. Sampai bela-belain jadi
imigran gelap. Saya udah di situ malah harus dideportasi. Saya nggak hanya
dipenjara tapi kehilangan status di Amerika. Seumur hidup pun saya nggak akan
bisa kembali ke Amerika. Itu penyesalan saya,” kata Howard kepada detikX saat
ditemui beberapa waktu lalu.
Howard
dibesarkan di tengah keluarga dengan disiplin dan keras. Sang ayah tak bisa
terima jika Howard melakukan sedikit pun kesalahan. Howard memiliki seorang
adik perempuan. Namun ia lebih sering menjadi bulan-bulanan kemarahan Ayahnya.
Ayah Howard tak akan segan menghukum dan memukulnya jika ia berbuat nakal
apalagi membangkang.
Itulah
mengapa Howard tak bisa menolak ketika ia dikirimkan ke sebuah sekolah asrama
di Kota Batu, Jawa Timur. Meski dalam hati ia sangat keberatan. Apalagi setelah
satu tahun Howard tak pernah sekalipun dikunjungi. Ia begitu iri dengan teman
sebayanya. Orang tua mereka bahkan rela terbang jauh hanya untuk bercengkerama
dengan anaknya.
Bukan tanpa alasan orang tua Howard mengirimkan
anaknya ke asrama. Mereka ingin agar Howard dapat tumbuh menjadi anak sulung
yang kuat dan mandiri. Namun Howard kecil yang usianya belum genap 10 tahun
belum bisa memahami bentuk kasih sayang orang tua yang tak biasa. Lambat laun
tumbuh perasaan bahwa Howard dibuang dan tidak diinginkan oleh kedua orang
tuanya. Pemikiran itu ia terus tumbuh hingga Howard diboyong keluarganya untuk
pindah ke San Fransisco.
“Saya
sudah terlanjur berpikir negatif kepada orang tua. Mereka sangat sibuk mengurus
bisnis keluarga jadi tidak ada waktu untuk anaknya. Begitu pula ketika saya pindah
ke Amerika tidak banyak yang berubah. Tetap aja saya merasa
terbuang dan kesepian,” ujar Howard.
Di
Amerika, nasibnya sama saja. Orang tuanya kembali mendaftarkannya di sekolah
bersistem asrama. Kali ini Howard bersikeras menolak. Hasilnya tidak sia-sia,
Howard dimasukan ke sekolah biasa di Parkside Middle School. Namun benih
pemberontakan sudah terlanjur tumbuh. Waktunya di sekolah Howard gunakan untuk
menunjukan jati diri. Ia merasa sebagai remaja hebat dan tak terkalahkan.
Akibat emosi yang menggebu, bercandaan sepele berubah menjadi adu jotos. Yang
menjadi korban ialah teman sebangkunya. Ia terluka sehingga harus dirawat di
rumah sakit. Karena cedera serius, di usianya menuju 13 tahun, Howard harus
menanggung tuduhan penganiayaan sehingga ia harus dipulangkan ke Indonesia.
Sementara orang tua mencari cara agar Howard bisa kembali ke Amerika. Howard
merasa amat kecewa. Bukan pada dirinya. Namun karena sekali lagi ia harus
tinggal jauh dari orang tua.
Berkat
usaha orang tua, Howard bisa kembali ke rumahnya di San Bruno, Amerika Serikat.
Kali ini Howard tak dapat mengelak lagi ketika dia diminta melanjutkan
pendidikan di sebuah sekolah asrama. Orang tua Howard mungkin tak akan
menyangka keputusannya ini berakibat sangat fatal bagi kehidupan putra sulungnya.
Kehidupan berjalan mundur bagi Howard. Merasa bebas, kali ini ia tertantang
untuk menjadi populer di sekolah. Caranya yaitu dengan bergabung di geng
sekolah. Howard mulai berkenalan dengan obat-obatan terlarang seperti ganja dan
kokain. Tak hanya sebagai pemakai, ia juga menjual barang itu ke pecandu lain
di lingkungan sekolah.
“Geng saya kalau ke sekolah pakai mobil bagus,
pacar cantik-cantik . Setiap malam minggu kami pasti pergi ke klub malam dan
berpesta. Dan terutama mereka punya akses ke obat-obatan. Menurut saya waktu
itu, pakai narkoba adalah tindakan paling keren yang pernah saya lakukan seumur
hidup,” ujar Howard. Belum lama berkenalan dengan narkoba, Howard sudah kena
pengaruh buruknya. Pengaruh obat membuatnya gampang emosi sehingga ia kerap
terlibat perkelahian. Ia pun harus kembali berurusan dengan kepolisian. “Di
bawah pengaruh obat saya berantem sama teman sambil nodong pakai
pisau. Karena dinilai membahayakan nyawa orang untuk pertama kali saya masuk
penjara anak di San Fransisco.”
Jerat
narkotika makin erat membelit Howard, membuatnya makin liar. Howard tidak lulus
kuliah, ia juga kembali bergabung ke dalam Geng Crips. Di antara geng jalanan
tertua dan paling terkenal di AS, Crips merupakan salah satu yang paling
berbahaya. Geng yang sudah terbentuk sejak tahun 1969 oleh seorang pemuda
bernama Raymond Washington ini terlibat dalam berbagai kejahatan. Seperti
perdagangan narkoba, perampokan, pemerasan, prostitusi hingga pembunuhan.
Pembantaian antara sesama anggota kerap tak terelakan. Kejar-kejaran dan baku
tembak dengan polisi jadi makanan sehari-hari. Howard akui bahwa perbuatan yang
mereka lakukan amat tidak terpuji namun baginya, mereka lah keluarga. Di geng
itu, Howard baru mengenal arti keluarga sesungguhnya, yang saling melindungi dan
saling memperhatikan jika salah satu anggota sedang terlibat masalah.
“Geng
ibarat rumah pertama buat saya, bukannya keluarga. Makanya meski sudah keluar
penjara saya tetap aja masuk ke dalam geng,” kata Howard. Apalagi, geng membuat
Howard lumayan kaya buat pemuda seumuran dia. “Dari semua kegiatan ilegal, saya
bisa dapat 8-11 ribu dollar per bulan tanpa kerja formal. Saya bisa beli apa
pun. Buat fun, karaoke dan judi. Walaupun jadi bandar, polisi nggak pernah
curiga. Karena kemana-mana saya pakai mobil mewah, pakaian rapi. Padahal kalau
dibuka kap mobil saya isinya narkoba sama pistol semua,” ungkapnya.
Hidup bergelimang harta, Howard tak pernah
merasa aman. Ia tak pernah keluar tanpa membawa senjata tajam atau pistol dalam
sakunya. Kehidupan di atas awan Howard pun tak bertahan lama. Bergaul menjadi
anak geng, Howard kembali harus berurusan dengan polisi. Ia kembali ditangkap
saat hendak melarikan diri dengan meminjam mobil milik sang ayah.
Hidup
Howard terlihat begitu kacau. Namun bukan berarti ia tak pernah bekerja dengan
cara yang halal. Sekembalinya dari dalam penjara, Howard sempat membantu usaha
keluarga yang membuka pabrik kecil pembuatan sarung tangan. Keuntungannya ia
manfaatkan untuk membuka usaha bengkel mobil. Usaha itu sebenarnya cukup sukses
sampai Howard mampu membeli sebuah mobil mewah keluaran Mercedes. Tapi hidup
dia saat itu memang susah jauh dari narkoba. Di area lingkungan pertemanan
Howard yang tak jauh dari pesta dan judi, ia kembali mendapat tawaran berjualan
narkoba. Kali ini tawarannya sangat besar. Howard tak sanggup menolaknya.
“Transaksinya
saat itu ratusan kilo. Bayangkan berapa jumlah uang yang bisa saya dapatkan
dari sana. Tapi saat itu salah satu teman dekat sesama pengedar mati ditembak
polisi. Padahal saya kenal dia paling lihai melarikan diri,” ujar Howard.
Kejadian itu membuat Howard terpukul. Ia segera membatalkan transaksi yang
sudah matang. Howard menjadi lebih sering berdiam diri di rumah. Ia juga
mengurangi pemakaian narkoba.
Namun
tekad bulat Howard bertobat baru muncul ketika untuk ketiga kalinya ia
dijebloskan ke dalam penjara. Kali ini kasusnya penyerangan terhadap salah satu
anggota saudaranya. Howard terpicu emosi ketika disindir mengenai latar
belakangnya sebagai pecandu narkoba. Ketika itu ia sedang menanyakan kejelasan
status rumah orang tuanya di Jakarta kepada sang bibi. Dia dijebloskan ke
penjara San Quentin dan sempat beberapa kali dipindahkan karena terlibat dalam
pertengkaran. Menjalani hari di penjara Amerika yang lebih ketat peraturannya
ini bagi Howard ibarat hidup di neraka.
“Terakhir
saya dipindahkan ke penjara High Desert State di Nevada. Penjaranya sempit dan
penuh sesak. Mental kita yang dibikin gila. Kami dikurung terus dalam sel 24
jam sehari. Seminggu cuma boleh keluar dua kali itu pun cuma 1 jam. Kalau nggak
kuat bisa gila. Saya aja nggak dikasih gila sama Tuhan,” ujar Howard yang
pernah masuk dalam sekte agama sesat di Amerika.
Setelah mendapatkan vonis deportasi, Howard
lebih banyak merenungkan hidupnya yang kacau. Beruntung keluarga Howard tak
meninggalkannya. Mereka masih menjenguk Howard. Setidaknya seminggu sekali.
“Saya banyak berpikir di penjara...Semua perbuatan yang saya lakukan nggak ada
faedahnya. Everything that you build goes back to zero. Uang
yang kamu cari bisa dibilang almost zero. My life doesnt mean
anything. Orang look down on you,” katanya.
Seorang diri di Jakarta di usia 34 tahun dan
harus memulai kehidupan dari nol bagi Howard sangat menakutkan. Tak banyak uang
tersisa di tabungan sejak terakhir ia dipenjara selama dua tahun. Beruntung
Howard memiliki beberapa kenalan penyanyi tanah air. Ia pun sempat mendapat
tawaran bekerja sebagai pemain sinetron. Belakangan Howard baru menemukan
panggilan hidupnya yang lain. Howard rajin memberikan kesaksian hidupnya di
hadapan para narapidana di rumah tahanan.
Ia berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya
untuk memberikan motivasi. Uang tabungan yang ia gunakan untuk kebutuhan
kunjungan ke lapas pun mulai menipis. Ia pun putar otak agar dapat berbagi
kisah sekaligus mengumpulkan uang untuk melanjutkan kehidupan. Howard lantas
menerbitkan buku perjalanan hidupnya yang ia beri judul Return.
Sejak dideportasi pada tahun 2014, kiprah Howard mulai terdengar di kalangan
motivator Indonesia. Ia pun mendapatkan kesempatan satu panggung dengan 30
motivator ternama dalam sebuah program acara televisi. Beberapa diantaranya
diantaranya Merry Riana, Tung Desem Waringin dan James Gwee.
“Bayangkan saja seorang yang tidak lulus
sekolah, mantan napi, narkoba, bandar, gengster, bisa berada satu panggung
terpilih menjadi 30 motivator itu luar biasa. Apa para pemakai yang dipenjara
nggak akan bangkit? Ini bukan untuk kesombongan tapi berlomba untuk berkarya,”
kata Howard yang juga menguasai bahasa Spanyol dan Mandarin.
Sumber:
https://x.detik.com/detail/intermeso/20180218/Bandar-Narkoba-di-Amerika-Motivator-di-Indonesia/index.php
0 komentar:
Posting Komentar