TOK! Palu hakim mengetuk meja hijau dengan keputusan bahwa mereka yang saat itu duduk di meja pesakitan, berganti status menjadi terdakwa. Para terdakwa itu, di mata hukum, juga telah memenuhi unsur-unsur sebagai penyalah guna narkoba.
Sebut saja nama-nama yang akrab bagi masyarakat, kini telah terhukum menjalani rehabilitasi sepanjang 2017. Dari Restu Sinaga yang oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dihukum rehabilitasi pada Januari 2017, Iwa K, Ridho Rhoma, hingga Ello yang oleh tiap-tiap lembaga hukum telah ditetapkan menjalani rehabilitasi.
Namun, kemudian, di belahan lain Indonesia, masih saja terdengar kabar yang menyatakan bahwa penyalah guna narkotika diganjar hukuman penjara di atas lima tahun. Hukuman kurungan secara literer. Bukan hukuman rehabilitasi.
Ini tentu saja mengabaikan esensi dari regulasi yang sudah ada. Bahkan, menyebabkan kesengkarutan dalam sejarah perundang-undangan di Indonesia. Efek lain dari kekarut-marutan ini, tentu saja, menyebabkan pos keuangan negara justru terisap yang bukan peruntukannya karena hukuman penjara bagi para penyalah guna narkotika.
Dalam setiap perkara narkotika, sebenarnya, para penegak hukum hingga pemutus perkaranya mesti berangkat dari aturan yang sama, yaitu Undang-undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang itu merupakan regulasi ‘khusus’ yang menyimpang dari sistem pemidanaan yang selama ini berlaku di Indonesia.
Dikatakan ‘khusus’ karena undang-undang ini menganut double track system pemidanaan bagi penyalah guna untuk diri sendiri dengan kewajiban bagi seluruh lembaga pengadilan di Indonesia untuk menghukum rehabilitasi. Adapun pengedarnya dihukum penjara atau mati.
Kemudian, berlandaskan regulasi itu, hakim diberi kewenangan tambahan secara khusus dalam memeriksa perkara pecandu (perkara penyalah guna dalam keadaan ketergantungan) yakni hakim ‘dapat’ memutuskan untuk memerintahkan terdakwa menjalani rehabilitasi jika terbukti bersalah dan menetapkan untuk memerintahkan menjalani rehabilitasi jika tidak terbukti bersalah (Pasal 103). Ini artinya, terbukti atau tidak dalam sidang pengadilan, hukuman bagi terdakwa tetap berujung pada satu titik rehabilitasi!
Kewenangan berdasarkan regulasi ini bukan berarti tidak bisa digunakan dalam memutuskan perkara pecandu belaka. Lema atau diksi ‘dapat’ itu artinya kewenangan tambahan yang memang telah diberikan undang-undang ‘khusus’ yang sifatnya wajib karena Pasal 127 ayat 2 dari Undang-Undang tentang Narkotika itu berbunyi ‘hakim dalam memeriksa perkara penyalah guna untuk diri sendiri (Pasal 127 ayat 1) wajib memperhatikan Pasal 54, 55, 103’!
Kewenangan tambahan terhadap lembaga pengadilan itu ialah untuk dapat memutuskan dan memerintahkan penyalah guna narkoba melakukan rehabilitasi. Juga, menetapkan untuk memerintahkan rehabilitasi ini bukan sekadar dicomot dari dunia antah berantah, melainkan berasal dari konvensi tunggal narkotika pada 1961 serta Protokol 1972 yang seharusnya segera mengganti wajah pengambilan keputusan pengadilan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, terutama terkait dengan para penyalah guna narkotika. Dari konvensi itu juga pemerintah mengadopsinya melalui Undang-Undang No 8 Tahun 1976.
Pada akhirnya, regulasi itu menjadi dasar dari lahirnya Undang-Undang Narkotika kita saat ini.
Mengurut sejarah
Akan tetapi, kemudian, mengapa hakim atau lembaga pengadilan wajib memberi hukuman rehabilitasi terhadap penyalah guna narkotika? Jawabannya sederhana. Mengurut pada sejarahnya, pertama, ada amanat dari Undang-Undang No 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1971 yang kemudian juga telah diamendemen dengan Protokol 1972. Ini yang menjadi dasar dibuatnya Undang-Undang Narkotika kita saat ini, bahwa terhadap penyalah guna diberikan alternatif hukuman rehabilitasi. Tujuannya justru untuk menekan bisnis narkotika secara universal.
Kewenangan merehabilitasi ini diberikan kepada penegak hukum, khususnya hakim berdasarkan Pasal 103 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Adapun penyidik dan penuntut umum serta hakim juga diberikan kewenangan menempatkan para penyalah guna itu ke lembaga rehabilitasi dalam proses pertanggungjawaban pidana, sesuai tingkat pemeriksaannya, dengan berdasarkan turunan dari Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni PP 25 Tahun 2011.
Kedua, tujuan Undang-Undang Narkotika kita saat ini sudah sangat jelas menyebutkan secara spesifik, ‘mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika dan menjamin upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu’.
Kalimat itu tentu saja berarti bahwa para penegak hukum, khususnya hakim, dalam melaksanakan tugas mereka harus mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan dalam lema atau diksi kalimat dari undang-undang ini, yaitu lema atau diksi ‘menyelamatkan’ dan ‘menjamin’ dengan bentuk rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
Ketiga, penyalah guna memang dikategorikan sebagai kriminal. Namun, karena ‘khusus’nya Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, penyalah guna dilabeli regulasi sebagai orang sakit yang mengidap penyakit adiksi atau kecanduan yang hanya pulih atau dapat disembuhkan cuma dengan merehabilitasinya.
Rehabilitasi penyalahguna ini kemudian menjadi domain dari Kementerian Kesehatan untuk melakukan rehabilitasi medis, Kementerian Sosial untuk rehabilitasi sosial, dan Badan Narkotika Nasional untuk rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pada titik ini menjadi bukti bahwa pos keuangan negara kemudian justru terisap bukan untuk peruntukannya karena mengirimkan para penyalah guna narkoba ke penjara, bukan ke panti rehabilitasi seperti ketetapan Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Keempat, perkara penyalahguna ini apabila dimintakan assessment atau diperiksa tim assessment atau dokter ahli (visum et repertum) berubah predikatnya menjadi perkara pecandu (penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan narkotika), yang menurut Pasal 54 Undang-Undang Narkotika kita wajib merehabilitasi, bukan dengan mengirimkannya ke penjara. Itulah sebabnya kenapa hakim diberi kewenangan tambahan untuk memberi hukuman rehabilitasi, baik bagi yang terbukti bersalah maupun bagi yang tidak terbukti bersalah.
Kelima, berdasarkan Pasal 103 ayat 2 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, hukuman rehabilitasi sama dengan hukuman penjara menurut konvensi tunggal narkotika yang sudah diamendemen. Itu hukuman rehabilitasi lebih bermanfat bagi penyalah guna, keluarga, bangsa, dan negara daripada hukuman penjara.
Dasarnya sederhana, faktanya, hukuman penjara bagi penyalah guna justru tidak menyembuhkan, bahkan masyarakat malah dirugikan secara spritual dan material. Negara juga malah akan menghasilkan generasi tidak sehat secara terus-menerus dan sistemis sehingga menyuburkan bisnis narkotika.
Kembali ke rel
Berdasarkan seluruh fakta dan data itu, keadilan dan peradilan terhadap para penyalah guna narkotika di Indonesia ini harus diakui bersama masih karut-marut karena saat ini tetap saja masih tercatat para penyalah guna dihukum penjara. Hasilnya, kesengkarutan itu menjadi salah satu penyebab lain dari semakin padatnya penjara di seluruh Indonesia.
Efek khususnya bagi negara, justru membebani keuangan pemerintah. Sementara itu, di sisi lain, masyarakat juga menemukan fakta bahwa memang ada juga penyalah guna yang dihukum rehabilitasi, khususnya perkara yang menjadi perhatian masyarakat. Kasus narkoba yang menimpa selebritas, misalnya.
Namun, kemudian, diam-diam justru ini tentu saja menimbulkan pertanyaan baru, kenapa keputusan hakim terhadap penyalah guna narkotika menjadi berbeda? Padahal amanat Undang-Undang Narkotika, hukumnya justru wajib bagi penegak hukum untuk memutuskan dengan memberikan hukuman rehabilitasi, baik jika itu terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah di pengadilan.
Itu menjadi pertanyaan masyarakat yang mesti segera dibuktikan aparat penegak hukum hingga lembaga peradilan. Jika tidak, tentu saja masyarakat melihat para aparat penegak hukum hingga lembaga peradilan seolah menepuk air di dulang, tapi tepercik ke muka aparat penegak hukum hingga lembaga peradilan itu sendiri. Padahal aparat penegak hukum hingga lembaga peradilan sebenarnya sudah memiliki guidance, yakni Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Karena itu, pada akhirnya kita berharap bahwa ke depannya para penegak hukum hingga para hakim dapat kembali ke rel mereka, dengan menghukum seluruh penyalah guna melalui hukuman rehabilitasi, sesuai dengan tujuan dan kewenangan hakim yang diberikan Undang-Undang No 35 tentang Narkotika. Tanpa pandang bulu.
Dengan demikian, perang melawan narkotika yang bergelora di seluruh dunia termasuk di Indonesia meraih kegemilangan dengan strategi yang oleh regulasi sebenarnya telah digariskan bahwa penyalah guna dihancurkan dengan senjata rehabilitasi dan pengedarnya diperangi dengan dihukum berat atau mati. Sebaliknya masyarakat, khususnya kaum muda yang belum terlibat masalah narkotika, dibentengi dengan pencegahan agar tidak terlibat dengan bisnis narkotika melalui edukasi oleh negara.
Sumber:
http://mediaindonesia.com/news/read/132303/hakim-wajib-memvonis-rehabilitasi-bagi-penyalah-guna-narkotika/2017-11-16
0 komentar:
Posting Komentar